1.Pengertian
Fenomenologi
Fenomenologi
sekarang dikenal agak umum dan terutama menjadi populer sekitar tahun 50-an . Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak
yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu
aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Tokoh fenomenologi yang terkenal
adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi.
Selaku pendiri aliran fenomenologi, Hussserl telah mempengaruhi
filsafat abad kita ini secara amat mendalam. Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua
orang dan manusia dapat mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut
Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus
kembali kepada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini
mengungkapkan dengan kalimat Zu Den
Sachen (to the things). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah
bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang
yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan
tetapi “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat sendiri.
Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah
hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran
pertama tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran
kedua. Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau,
melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl
memperkenalkan pendekatan reduksi.
Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala pengetahuan yang
ada tentang obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau
pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yag artinya sebagai penempatanan
sesuatu di antara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “melupakan
pengertian-pengertian tentang obyek untuk sementara dan berusaha melihat obyek
secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengetian-pengertian yang ada
sebelumnya”. Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap
fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral.
Tidak menggunakan teori-teorti atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam
hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.
2.Reduksi Fenomenologi
Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas
fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu:
a.
Reduksi
Fenomenologis
Fenomena seperti di atas adalah menampakkan diri. Reduksi
pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjekivitas yang dapat
mengganggu perjalanan realitas itu. Kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan
yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang
timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi
ini disebut fenomenologis.
b.
Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau
penempatan di dalam kurung. Dengan reduksi eidetic, semua segi, aspek, dan
profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan
profil tidak pernah menggambarkan obyek secara utuh. Untuk menentukan apakah
sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur
mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang
representative melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambahkan salah
satu sifat. Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria
kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap obyek
harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten.
c.
Reduksi
Fenomenologi-Transendental
Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai
objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang
menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil
reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. Kesadaran yang ditemukan adalah
kesadaran yang bersifat murni atau transcendental, yaitu yang ada bagi diriku
di dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut atau “aku” transendental.
Dalam hai ini “aku” transendental mengkonstitusi
esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari
bahwa obyek-obyek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya.
Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami obyek-obyek. Kursi
misalnya tidak jelas maknanya bagi seseorang yang tetap hidup di hutan, atau tidak
akan dipahami maknya kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan.
Obyek yang disadari baru menjadi realitas bagi satu subyek, sedangkan subyek
lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl membuat reduksi, lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia
manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolute
dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku” transendental dari
subyek berubah menjadi “aku” transendental antar subyek. Ini yang ditempuh
Husserl untuk menghindari solipisme
(teori bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri
sendiri) fenomenologis.
3.
Periode Fenomenologi
a. Periode pra-fenomenologi: 1887-1901
Periode ini
sesuai dengan gaya buku besar yang pertama: Logische Untersuchugen (1900-1901;
cetakan ke-2, 1913-1921), jilid pertama. Pada waktu itu ia mengajar filsafat di
Halle, sebagai dosen ‘tamu’.
b.
Periode
fenomenologis sebagai usaha epistemologis yang terbatas: 1901-1906.
Ia megajar
filsafat di Gottingen, dengan mulai sebagai dosen tidak tetap, 1901-1906.
Selama periode kedua ini ia mulai menyelidiki tipe-tipe murni di antara
pengalaman-pengalaman logis, seusai dengan obyeknya. Dan berhubungan dengan itu
ia juga mulai memperkembangakan metode fenomenologis.
c.
Periode
fenomenologis menologis murni, sebagai dasar umum bagi filsafat dan ilmu:
1907-1935. Ia mengajar terus di Gottingen dulu; kemudian menjadi guru-besar di
Freiburg (1916-1929). Antara 1913-1930 ia mengumpulkan kelompok asisten dan mahasiswa
yang sangat dekat: antara lain Pfander, Scheler, Heidegger, Reinach,
Concrad-Martinus, Ingarden, Fink, Farber. Namun caranya berfilsafat selalu agak
bersifat monolog . Dan pada umumnya ia merasa terisolir.
d.
Periode
pengatasan idealisme: 1935-1938.
Kesimpulan
Kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Jadi,
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu
yang menampakkan diri. Tokoh fenomenologi yang terkenal adalah Edmund Husserl
(1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi. Selaku
pendiri aliran fenomenologi, Hussserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini
secara amat mendalam. Husserl
berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat
mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa
untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali kepada
“benda-benda” sendiri. Dalam menemukan fenomenlogi perlu adanya tiga reduksi
dalam melakukan pendekatan ke fenomenologi yaitu:
a.
Reduksi
Fenomenologis
b.
Reduksi Eidetis
c.
Reduksi
Fenomenologi-Transendental
Tujuan dari semua reduksi ini adalah
menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran
manusia. Akan tetapi, di dalam filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada
idealisme transendental dan diceritakan bahwa hal itu bertentangan dengan
tujuan semula. Namun, bagaiman jalan keluar yang ditempuhnya dalam
menyelesaikan masalah itu sampai akhir hayatya, tidaklah jelas.
Pendekatan fenomenologi ini sangat
besar pengaruhnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan matematika. J.F. Donceel, misalnya, telah
menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam ukunya,
Philosophical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan pendekatan
fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah
politik,kebudayaan-kebudayaan dan agama
Daftar
Pustaka
Bertens,
K, Filsafat Barat Abad XX Inggris Jerman
(Jakarta:Gramedia,1983)
Bakker,
Anton, Metode-metode Filsafat ,(Glalia
Indonesia, 1984)
Prajaya,
Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan
Etika, (Jakarta: Kencana, 2010)