BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupanumatnya. Mengatur hubunganseorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut Muamalah ma’allah dan mengatur pulahubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Hubungansesamainilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam islam yang dikenal dengan Fiqh Muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atauhubungan antara umat satu dengan umat lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang, dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya dan sipembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belahpihak, maka zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi , dan maraknya pengguna internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minuman misalnya, terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi akan membutuhkan hubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan besar akan terbentuk akad jual beli.
B. Rumusan masalah
a. Apa yang dimaksud dengan akad jual beli?
b. Apa hukum jual beli dalam islam?
c. Apa rukun dan syarat jual beli?
d. Apa saja pembagian jual beli?
e. Bagaimana akad jual jual beli kredit?
f. Bagaimana akad jual beli salam?
g. Bagaimana akad istishna’?
h. Bagaimana akad Makelar/ perantara?
C. Tujuan pembahasan
a. Mengetahui pengertian jual beli
b. Mengetahui hukum jual beli dalam islam
c. Mengetahui rukun dan syarat jual beli
d. Mengetahui macam-macam jual beli
e. Mengetahui akad jual beli kredit
f. Mengetahui akad jual beli salam
g. Mengetahui akad jual beli istishna’
h. Mengetahui akad jual beli makelar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian jual beli
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Kata alba’i dalam arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata alba’i berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi sama. Sayyid sabiq, mendefinisikannya dengan :
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.
Dalam definisi di atas terdapat kata “harta”, “milik”, “dengan”, “ganti” dan “dapat dibenarkan” (al-ma’dzun fih). Yang dimaksud harta dalam definisi di atas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dantidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat dibedakan dengan yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (al-ma;dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
Adapun menurut terminologi ahli fikih, jual-beli adalah perjanjian yang didasarkan atas penukaran harta dengan harta sebagai kepemilikan selamannya. Defini tersebut menujukkan bahwa jual-beli mengharuskan terjadinya pertukaran sebagaimacam harta dengan perjanjian kepemilikan. Dengan demikian, baik ba’i maupun syira’ tidak akan terjadi kecuali dengan benda secara hukum disebut harta. Selain itu, dalam jual-beli mengharuskan adanya hak kepemilikan dan orang yang memiliki serta tidak diabatasi oleh waktu.
B. Landasan Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
1. Landasan Al-Qur’an
Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jual beli, diantaranya dalam surat an-Nisa’ 4: 29.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan jalan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S.an-Nisa’ 4 : 29).
2. Landasan as-Sunnah
Dalam sabda Rasulullah disebutkan :
“Nabi Muhammad SAW. Pernah ditanya: Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”.9 (HR. Ahmad Hanbal)
3. Pendapat Para Ulama
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukum Jual Beli
Dari kandungan ayat-ayat dan hadis-hadis yang dikemukakan di atas sebagai dasar jual beli, para ulama fikih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun, menurut Imam al-Syātibi (ahli fikih Mazhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek ihtikar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan (stok) hilang dari pasar dan harga melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga pasaran.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Oleh karena perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat sahnya jual beli.
Adapun rukun jual beli terdiri dari tiga macam:
1. Orang-orang yang berakad (Penjual dan Pembeli)
2. Ma’qud alayh (benda atau barang yang menjadi obyek akad)
3. ‘Aqd (Ijab Qabul).
Adapun syarat jual beli yang sesuai dengan rukun jual beli adalah sebagai berikut:
1. Syarat orang-orang yang berakad
Para Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan aqad jual beli harus memenuhi syarat:
a) Berakal, agar dia tidak terkicuh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. Adapun yang dimaksud berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya, dan apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli yang diadakan tidak sah.
b) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa), bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan kepada pihak lainnya, sehingga pihak yang lain tersebut melakukan perbuatan jual bali bukan lagi disebabkan kemauannya sendiri, tapi disebabkan adanya unsur paksaan, jual beli yang dilakukan bukan atas dasar “kehendaknya sendiri” adalah tidak sah. Adapun yang menjadi dasar bahwa suatu jual beli harus dilakukan atas dasar kehendak sendiri para pihak, dapat dilihat dalam ketentuan Al- Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”Perkataan “suka sama suka” dalam ayat di ataslah yang menjadi dasar bahwa jual beli haruslah merupakan “kehendak bebas/kehendak sendiri” yang bebas dari unsur tekanan/paksaan dan tipu daya atau kicuhan.
c) Keduanya tidak mubazir, maksudnya para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubaz|ir), sebab orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak, maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.Orang boros (mubazir) di dalam perbuatan hukum berada di bawah pengampuan/perwalian. Yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah pengampunya/walinya. Hal ini sesuai dengan surat an-Nisa’ ayat 5 yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Dan jannganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “belum sempurna akalnya” oleh penafsir ditafsirkan sebagai anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur hartanya.Sedangkan kalimat “mereka yang ada dalam kekuasaanmu” menunjukkan bahwa walilah yang bertanggunng jawab penuh untuk segala perbuatan hukum guna kepentingan orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
d) Balig atau dewasa, dewasa dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan), dengan demikian jual beli yang diadakan anak kecil adalah tidak sah. Namun demikian bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, akan tetapi dia belum dewasa (belum mencapai umur 15 tahun dan belum bermimpi atau haid), menurut pendapat sebagian ulama bahwa anak tersebut diperbolehkan untuk melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi.13
2. Syarat benda atau barang yang menjadi obyek akad
Yang dimaksud dengan obyek jual beli di sini adalah benda yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Dan syarat-syaratnya adalah:
a. Suci barangnya, Mazhab Hanafi dan Mazhab Zhahiri mengecualikan barang yang ada manfaatnya, hal itu dinilai halal untuk dijual, untuk itu mereka mengatakan: “Diperbolehkan seseorang menjual kotoran-kotoran atau tinja dan sampah-sampah yang mengandung najis oleh karena sangat dibutuhkan untuk keperluan perkebunan. Barang-barang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar perapian dan juga dapat digunakan sebagai pupuk tanaman.”
b. Harus bermanfaat, jual beli serangga, ular, tikus, tidak boleh kecuali untuk dimanfaatkan. Juga boleh jual beli kucing, lebah, singa dan binatang lain yang berguna untuk berburu atau dimanfaatkan kulitnya. Demikian pula memperjual belikan gajah untuk mengangkut barang, burung beo, burung merak, dan burung-burung lain yang bentuknya indahsekalipun tidak untuk dimakan, tetapi dengan tujuan menikmati suara dan bentuknya.
c. Milik sendiri, jika jual beli berlangsung sebelum ada izin dari pemilik barang, maka jual beli seperti ini dinamakan bay’ fudul.
d. Mampu menyerahkan, bahwa yang diakadkan dapat dihitung waktu penyerahannya secara syara’ dan rasa. Sesuatu yang tidak dapat dihitung pada waktu penyerahannya, tidak sah dijual, seperti ikan yang berada dalam air.
e. Diketahui, jika barang dan harga tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak diketahui, jual beli tidak sah karena mengandung unsur penipuan. Mengenai syarat mengetahui barang yang dijual, cukup dengan penyaksian barang sekalipun tidak diketahui (jazaf). Untuk barang zimah (barang yang dihitung, ditakar dan ditimbang), maka kadar kuantitas dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad demikian pula harganya harus diketahui, baik itu sifat (jenis pembayaran), jumlah maupun massanya.
f. Barang yang diakadkan ada di tangan, adapun menjualnya sebelum di tangan, maka tidak boleh. Karena dapat terjadi barang itu sudah rusak pada waktu masih berada di tangan penjual, sehingga menjadi jual beli garar dan jual beli garar tidak sah, baik itu bentuk barang ‘iqar (yang tidak bergerak) atau yang dapat dipindahkan. Dan dapat dipindahkan, baik itu yang dapat dihitung kadarnya atau jazaf.
3. Syarat Ijab Qabul
Para Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut:
a) Orang yang mengucapkannya telah balig dan berakal, menurut jumhur ulama, atau telah berakal menurut ulama Hanifiah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad yang disebutka di atas.
b) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya, penjual mengatakan: “Saya jual buku ini seharga Rp. 15.000,-.” Lalu pembeli menjawab: “Saya beli dengan harga Rp. 15.000,-.” Apabila antara ijab dengan qabul tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
c) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama. Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia ucapkan qabul, maka menurut kesepakatan ulama fiqh, jual beli ini tidak sah, sekalipun mereka berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung dengan qabul.
D. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum. Dari segi obyek jual beli dan dari obyek jual beli.
Dari segi obyeknya jual beli dibedakan menjadi empat macam:
1. Jual beli al-muqayyadah (barter). Yakni jual beli barang dengan barang yang lazim disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum.
2. Jual beli al-mutlaq. Yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan saman (alat pembayaran) secara mutlak. Seperti Dirham, Rupiah atau Dolar.
3. Jual beli al-Sarf. Yakni menjualbelikan saman dengan saman yang lainnya seperti Dinar, Dirham, Dolar atau alat-alat pembayaran yang lainnya yang berlaku secara umum.
4. Jual beli (pesanan). Adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
Dari segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:
1. Jual beli yang menguntungkan (Bay’ al-Murabahah). Harga pokok ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati akad.
2. Jual beli yang tidak menguintungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-Tawliyah).
3. Jual beli rugi (al-Khasarah) yakni jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon.
4. Jual beli (al-Musawah), yakni penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi kedua orang yang berakad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
Dari segi bentuk jual beli khusus dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Jual beli pesanan yaitu menjual suatu barang yang menyerahkannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.
2. Jual beli al-wafa’ yaitu jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
3. Ihtikar yaitu upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.
Bentuk-Bentuk Jual Beli
Mazhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Jual beli yang Sahih
Apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terkait dengan khiyar lagi, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah pihak. Umpamanya, seseorang membeli suatu barang. Seluruh rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi. Barang itu juga telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, dan tidak ada yang rusak. Uang sudah diserahkan dan barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiyar.
2. Jual beli yang batil
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyariatkan, maka jual beli itu batil. Umpamanya, jual beli yang dilakukan oleh anak- anak, orang gila, atau barang-barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan khamar) .
Jual beli yang batil itu sebagai berikut:
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada
Ulama fiqh sepakat menyatakan, bahwa jual beli barang yang tidak ada tidak sah. Umpamanya menjual buah-buahan yang baru berkembang (mungkin jadi buah atau tidak), atau menjual anak sapi yang masih dalam perut ibunya. Namun, ibnu Qayyim al-Jauziyah (Mazhab Hanbali) menyatakan, jual beli barang yang tidak ada waktu berlangsung akad, dan diyakini akan ada pada masa yang akan datang, sesuai kebiasaan, boleh dijualbelikan dan hukumnya sah. Sebagai alasannya, ialah bahwa dalam nass al-Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan larangannya, jual beli yang dilarang oleh Rasulullah adalah jual beli yang ada unsur penipuannya.
b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan
Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, tidak sah (batil). Umpamanya, menjual barang yang hilang, atau burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fikih (Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah).
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
Menjual barang yang ada mengandung unsur tipuan tidak sah (batil). Umpamanya, barang itu kelihatannya baik, sedangkan dibaliknya terlihat tidak baik. Sering ditemukan dalam masyarakat, bahwa orang yang menjual buah-buahan dalam keranjang yang bagian atasnya ditaruh yang baik-baik, sedangkan bagian bawahnya yang jelek-jelek, yang pada intinya ada maksud penipuan dari pihak penjual dengan cara memperlihatkan yang baik-baik dan menyembunyikan yang tidak baik.
d. Jual beli benda najis
Jual neli benda najis hukumnya tidak sah, seperti menjual babi, bangkai, darah dan khamar (semua benda yang memabukkan). Sebab benda itu tidak mengandung makna dalam arti hakiki menurut Syara’. Menurut jumhur ulama, memperjualbelikan anjing juga tidak dibenarkan, baik anjing yang dipergunakan untuk menjaga rumah atau untuk berburu.
Artinya : Rasulullah SAW melarang memanfaatkan hasil jualan anjing, hasil praktek prostitusi dan upah tenung. (HR. Bukhari dan Muslim).
e. Jual beli al-‘urbun
Jual beli al-‘urbun adalah jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian. Apabila barang yang sudah dibeli dikembalikan kepada penjual, maka uang muka (panjar) yang diberikan kepada penjual menjadi milik penjual itu (hibah). Di dalam masyarakat kita dikenal uang itu “uang hangus”, atau “uang hilang” tidak boleh ditagih lagi oleh pembeli.
f. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang
Air yang disebutkan itu adalah milik bersama umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan. Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali.
3. Jual beli yang fasid
Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan benda-benda haram (khamar, babi dan darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli itu dinamakan fasid.
Akan tetapi, Jumhur Ulama tidak membedakan antara jual beli yang fasid dengan jual beli yang batal. Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli yang batal. Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.
Di antara jual beli yang fasid, menurut Ulama Hanafiyah, adalah:
a. Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak diketahui) Dengan syarat kemajhulannya itu bersifat menyeluruh. Akan tetapi, apabila kemajhulannya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah, karena hal itu tidak akan membawa kepada perselisihan.
b. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat
Seperti ucapan penjual kepada pembeli, “saya jual kereta saya ini kepada engkau bulan depan setelah gajian”. Jual beli seperti ini, batil menurut jumhur, dan fasid menurut Ulama Hanafiyah. Menurut Ulama Hanafiyah jual beli ini dianggap sah pada saat syaratnya terpenuhi atau tenggang waktu yang disebutkan dalam akad jatuh tempo. Artinya jual beli ini baru sah apabila masa yang ditentukan “bulan depan” itu telah jatuh tempo.
c. Menjual barang yang gaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli
Ulama Malikiyah membolehkannya, apabila sifat-sifatnya disebutkan, dengan syarat sifat-sifat itu tidak akan berubah sampai barang itu diserahkan. Sedangkan Ulama Hanabilah mengatakan bahwa jual beli seperti ini sah apabila pihak pembeli mempunyai khiyar (memilih), yaitu khiyar ru’yah. Ulama Syafi’iyah menyatakan jual beli seperti ini batal secara mutlak.
d. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta.
Jumhur ulama mengatakan bahwa jual beli orang buta adalah sah apabila orang buta ini memiliki hak khiyar. Sedangkan ulama Syafi’iyah tidak membolehkan jual beli ini, kecuali jika barang yang dibeli itu telah ia lihat sebelum matanya buta.
e. Barter dengan barang yang diharamkan
Umpamanya menjadikan barang-barang yang diharamkan sebagai harga, seperti babi, khamar, darah dan bangkai.
f. Jual beli ajal
Misalnya, seseorang menjual barangnya dengan harga Rp.100.000,- yang pembayarannya ditunda selama satu bulan, kemudian setelah penyerahan barang kepada pembeli, pemilik barang (pertama) membeli kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah, seperti Rp.75.000,- sehingga pembeli pertama tetap berutang sebanyak Rp.25.000. Jual beli seperti ini dikatakan fasid karena jual beli ini menyerupai dan menjurus kepada riba. Akan tetapi Ulama Hanafiyah mengatakan apabila unsur yang membuat jual beli ini menjadi rusak dihilangkan, maka hukumnya sah.
g. Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar
Apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen khamar. Imam al-Syafi’I dan Imam Abu Hanifah menganggap jual beli ini sah, tetapi hukumnya makruh sama halnya dengan orang Islam menjual senjata kepada musuh Islam. Akan tetapi Ulama Malikiyah dan Hanabilah menganggap jual beli ini batal sama sekali.
h. Jual beli bergantung pada syarat
Seperti ungkapan pedagang “jika tunai harganya Rp.10.000,- dan jika berutang harganya Rp.15.000,-. Jual beli ini dikatakan fasid didasarkan kepada hadis Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Ashab as-Sunan (para penyusun kitab sunan) dari Abu Hurairah, dan dari Amr ibn Syu’aib bahwa Rasulullah saw. Sebagai berikut:
i. Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya
Seperti menjual daging kambing yang diambilkan dari kambing yang masih hidup, tanduk kerbau dari kerbau yang masih hidup, dan sebelah sepatu. Jual beli fasid ini boleh berkembang, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan para Ulama. Jual beli seperti ini menurut Jumhur Ulama tidak sah, menurut ulama Hanafiah, hukumnya fasid.
j. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa membeli buah-buahan yang belum ada di pohonnya tidak sah.
k. Jual beli dengan Mulammasah
Yaitu jual beli dengan sentuh menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarangkarena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak .
l. Jual beli Munabazah
Yaitu jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparka pula kepadamu apa yang ada padaku”. Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jual beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab qabul.
m. Jual beli Muzabanah
Yaitu menjual buah yang basah dan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan pemilik padi kering.
E. Akad Salam
a. Pengertian akad salam
Salam dan salaf mempunyai arti yang sama. Dalam kamus al-Mu’jam Al Wasith disebutkan; salaf diartikan dengan bai’ussalalam” yang artinya jual beli salam. Pengertian salaf atau istalafa :iqtaradha yang artinya berutang.
Pengertian salam menurut istilah di kemukakan oleh :
1. Kamaluddin Al Hammam dari mazhab Hanafi
Sesungguhnya pengertian salam menurut syara’ adalah jual beli tanpa dengan tunai.
2. Syafi’iyah dan Hanibilah
Salam adalah suatu akad atas barang yang disebutkan sifatnya dalam perjanjian dengan penyerahan tempo dengan harga yang diserahkan di majelis akad.
3. Malikiyah
Salam adalah jual beli dimana modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barangnya diserahkan di belakang.
Dari beberapa pengertian diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa salam adalah salah satu bentuk jual beli dimana uang harga barang dibayarkan secara tunai sedangkan barang yang di beli belum ada hanya sifat-sifat, jenis, dan ukurannya sudah di sebutkan pada waktu perjanjian di buat.
b. Dasar Hukum
Salam merupakan akad yang di perbolehkan. Dasar hokum diperbolehkannya salam adalah
a. Al-quran
QS. Al- Baqarah : 282
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa transaksi dengan cara berhutang itu hukumnya diperbolehkan. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Ali As-Says mengatakan :
Menurut kebanyakan ahli tafsir, jual beli itu ada empat macam, yaitu : (1) jual beli barang dengan barang, (2) jual beli utang dengan utang. Jual beli seperti ini batal dan dilarang. Kedua macam jual beli tersebut tidak termasuk dalam ayat ini. (3) jual beli barang dengan utang, (4) jual beli utang dengan barang, dan ini yang disebut dengan salam. Kedua jenis jual beli yang terakhir ini termasuk ke dalam ayat ini.
b. Hadis
Riwayat Ibnu Abbas
” ibnu Abbas, ia berkata : Nabi SAW telah datang ke Madinah dan mereka (penduduk Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka Nabi bersabda : Barang siapa yang memesan buahkurma maka hendaklah dia memesannya dalam takaran tertentu, dan timbangan tertentu serta waktu tertentu. (HR. Muttaq ‘alaih)
c. Rukun dan Syarat- Syarat
a. Rukun salam
Rukun salam menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun salam meliputi :
a) Aqid
Yaitu pembeli ( al-muslim atau rabbussalam), dan penjual (al muslam ilaih).
b) Ma’qud ‘alaih
Yaitu barang yang dipesan (muslam fih), dan harga atau modal salam(ra’s al-mal as-salam).
c) Shighat
Yaitu ijab dan qabul.
b. Syarat- syarat salam
Akad salam yang sah harus memenuhi syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fih.
1. Syarat-syarat in’iqad
a. Menyatakan sighat ijab dan qabul
b. Pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Artinya dia telah baligh dan berakal karena salam merupakan transaksi harta yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap dalammembelanjakan harta, seperti halnya akad jual beli.
2. Syarat sah salam
a. Pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakan kedua belah pihak sama dengan perpisahan.
Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan, terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dengan utang, jika harga berada dalam tanggungan. Selain itu, harga barang pesanan disyariatkan harus diketahui secara perkiraan atau secara pasti, menurut pendapat azar.
Harga pesanan harus dibayar tunai, seperti berlaku dalam akad pertukaran uang (sharf), tidak cukup sekedar menyerahkannya di tempat akad. Apabila kedua belah pihak berpisah sebelum pembayaran harga atau mereka telah mengambil kesepakatan akad sebelum pembayaran diterima, akad tersebut batal. Kecuali bila sebagian harga telah dibayar, bagian itulah yang sah, sedang bagian yang belum diserahkan berikut barang pesanan yang menjadi kompensasi pembayaran tersebut, hukumnya sah.
Berdasarkan penjelasan di atas, akad salam dinyatakan sah apabila memenuhi syarat berupa pembayaran seluruh harga di tempat akad, dan harus dilakukan serah terima secara riil. Apabila pemesanan mengadakan akad hiwalah (pemindahan utang) dengan penerima pesanan, akad salam tersebut tidak sah.
b. Pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Bila tidak memberikan ongkos kirim, maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan.
c. Akad salam secara kredit disyariatkan tenggatnya harus diketahui.
3. Syarat muslam fih (barang pesanan)
a. Barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya.
Akad salam tidak boleh dilakukan pada batu mulia daan barang yang dicampur dengan bahan lain, seperti harisah(bubur yang terbuat dari campuran tepung dan daging), ghaliyah (oplosan minyak misik, minyak ambar, dan kamper), khuf yang terdiri dari bahan luar, bahan dalam, dan isi. Karakter barang-barang tersebut sulit dipenuhi.
b. Barang pesanan dapat diketahui kadarnya, baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui.
c. Barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
Misalnya seseorang berkata, “aku memesan kepadamu baju yang ada dalam buku ini,” akad tersebut tidak sah, dan tidak berubah menjadi akad jual beli. Demikianlah pendapat azhar. Apabila seseorang berkata, “aku beli darimu sebuah baju dengan ciri-ciri demikian dengan harga sekian,” lalu penjual berkata, “ya, aku menjualnya kepadamu,” akad tersebut sah sebagai transaksi jual beli, dengan mempertimbangkan redaksi.
d. Barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
Barang yang sulit diserahkan tidak boleh di perjualbelikan, karena itu dilarang dalam akad salam.
Menurut pendapat azhar, jika seseorang memesan barang yang mudah ditemukan, lalu barang tersebut menghilang dari pasaran pada saat jatuh tempo penyerahan, akad tersebut tidak otomatis batal, hanya saja pemesan berhak menuntut khiyar antara membatalkan akad atau menunggu sampai barang tersedia.
Menurut pendapat ashah, jika pemesan mengetahui kelangkaan barang sebelum jatuh tempo penyerahan, maka dia tidak berhak menuntut khiyar, sebab belum tiba waktu wajib penyerahan barang.
F. Akad Kredit
Jasa kredit dalam istilah perbankan yaitu menukar harta tunai dengan tidak tunai. Dalam bahasa Arab, kredit disebut juga I'timan (kepercayaan) karena kedua belah pihak saling percaya.
Jasa perkreditan ada beberapa bentuk, di antaranya;
A. Kredit
a. Pengertian
Kredit merupakan pembiayaan yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, diberikan kepada perorangan, perseroan dan instansi pemerintah. Kredit bisa dalam bentuk jangka pendek; 1 tahun atau kurang, dalam bentuk jangka menengah; satu sampai 5 tahun, atau jangka panjang; di atas 5 tahun.
b. Hukum
Kredit sama bentuknya dengan qardh berbunga yang hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama, baik kredit pembiayaan suatu badan usaha maupun kredit dalam bentuk pinjaman kepada perseorangan untuk tujuan komsumsi.
B. Bai' bi taqsith (Jual-beli Kredit/installment sale).
Bai' bi taqsith merupakan salah satu transaksi pembiayaan di perbankan syariah.
a. Pengertian
Menjual barang dengan pembayaran tidak tunai yang lebih mahal harganya daripada tunai dan pembeli melunasi angsuran tertentu pada waktu tertentu.
Misalnya:
Harga tunai sebuah mobil 100 juta rupiah, pak Saleh membelinya dengan cara angsuran seharga 120 juta rupiah dan dia akan membayar angsuran setiap bulannya 3 juta rupiah.
b. Hukum
Jual beli kredit hukumnya mubah, berdasarkan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya". (Al Baqarah: 282).
c. Syarat sah
1. Obyek akad bukan emas, perak dan alat tukar lainnya, maka tidak boleh menjual emas dengan cara kredit, karena menukar uang dengan emas disyaratkan tunai.
2. Barang yang dijual adalah milik penjual saat akad, maka tidak boleh melakukan akad jual-beli. Setelah itu, baru kemudian penjual membeli barang dan menyerahkannya kepada pembeli.
3. Barang yang akan dijual telah diterima penjual, maka tidak boleh menjual barang yang sudah dibeli namun belum diterima.
4. Penjual tidak boleh memberikan persyaratan kepada pembeli bahwa jumlah angsurannya akan bertambah jika terlambat membayar pada waktu yang telah ditentukan, karena ini termasuk riba, seumpanya dia berkata," setiap keterlambatan pembayaran angsuran anda akan dikenakan denda keterlambatan pelunasan angsuran.
d. Persyaratan Yang Dibolehkan
Penjual (bank) dibolehkan memberikan persyaratan sebagai berikut sebagai jaminan pelunasan haknya:
1. Memberikan persyaratan kepada pembeli untuk menyertakan penjamin (guarantor) yang bersedia membayar angsuran jika yang dijamin tidak membayarnya.
2. Memberikan persyaratan agar pembeli menyertakan barang agunan dan memberikan kuasa kepada penjual (bank) untuk menjualnya dan melunasi kewajibannya. Andai pembeli terlambat melunasi angsuran penjual (bank) berhak menjualnya serta menutupi angsuran dari hasil penjualan agunan dan sisanya dikembalikan kepada pihak pembeli.
3. Memberikan persyaratan; andai pembeli mengulur pelunasan angsuran maka angsuran selanjutnya menjadi tunai.
C. Kartu Bank
a. Pengertian
Kartu bank adalah kartu magnetik yang terbuat dari plastik tertera padanya nama pemegang, tanggal diterbitkan dan tanggal berakhirnya yang digunakan untuk penarikan uang tunai atau membayar tagihan barang dan jasa.
b. Jenis-jenis
Ada 2 bentuk kartu bank, yaitu :
a) Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM= Automatic Teller Machine)
a. Pengertian
Kartu ini merupakan pemotongan dana nasabah yang tersimpan di bank. Pemegang kartu ini hanyalah orang yang menyimpan dana di bank penerbit kartu dan tidak bisa digunakan melebihi dana yang tersimpan.
b. Fungsi
Ada 2 fungsi kartu ATM, yaitu :
1. Melakukan proses administrasi yang biasanya dilaksanakan oleh bank melalui mesin ATM, seperti: penarikan uang tunai dari rekening, penyetoran uang tunai, informasi saldo rekening, transfer, pembayaran rekening listrik, PAM dll.
2. Membayar tagihan barang yang dibeli atau jasa yang digunakan melalui mesin yang dimiliki oleh pedagang yang dapat mengakses kartu tersebut (point of sales). Pemotongan tersebut langsung dilakukan dari rekening pembeli dan berpindah ke rekening pedagang saat transaksi jual beli terjadi.
c. Hukum
Kartu ATM, hukum menerbitkan dan menggunakannya adalah mubah karena hanya bisa digunakan sebatas dana nasabah yang ada. Dan tidak ada kredit yang diberikan bank kepada nasabah. Namun perlu diingat bahwa hukum ini hanya berlaku untuk bank penerbit kartu yang bukan bank riba.
Biaya yang dipungut bank atas penggunaan kartu ini hukumnya mubah, baik biaya penerbitan, penarikan uang tunai atau pembayaran tagihan belanja, yang besarnya tetap atau berdasarkan rasio uang tunai yang ditarik atau nilai belanja, karena biaya ini merupakan imbalan dari jasa yang diberikan pihak bank. Dengan demikian, pemungutan biaya tidak dilarang oleh syariah.
Membeli emas dan barang yang disyaratkan serah terimanya tunai menggunakan kartu ATM hukumnya BOLEH karena pemotongan uang dari pembeli dan pemindahannya ke rekening penjual berlangsung tunai saat membeli.
b) Kartu Kredit (Credit card)
a. Pengertian
Kartu kredit yaitu kartu yang tidak disyaratkan pemegangnya memiliki rekening pada bank penerbit akan tetapi bank memberikan uang yang dibutuhkan nasabah ketika menggunakan kartu, kemudian bank menagih uang tersebut dari nasabah. Pemegang kartu diberi tenggang waktu untuk pembayaran dan batas maksimal kredit ditentukan.
b. Fungsi
Ada 2 fungsi kartu kredit;
1. Penarikan uang tunai dalam jumlah tertentu dari ATM dimana bank penerbit kartu memberikan pinjaman uang tersebut dengan syarat nasabah mengembalikannya pada waktu yang telah disepakati dan bank memungut biaya dari nasabah sebagai imbalan dari kredit.
Biaya ini terkadang besarnya tetap dari setiap penarikan uang tunai, namun terkadang berdasarkan rasio dari uang tunai yang ditarik, misalnya 1% dari jumlah uang pada setiap penarikan.
2. Pembayaran tagihan barang atau jasa.
Pihak bank membayarkan tagihan belanja nasabah kepada penjual yang mau menerima kartu, kemudian bank menagih nasabah untuk melunasi kredit. Bank memungut komisi dari penjual dan tidak memungut biaya apapun dari nasabah atas imbalan jasa yang diberikannya; komisi yang ditarik bank dari penjual berkisar antara 1 - 8% dari harga penjualan barang.
Misalnya:
Seseorang hendak membeli sebuah barang seharga 100 ribu rupiah, dia membayar dengan menggunakan kartu kredit lalu penjual memasukkan kartu kredit ke sebuah alat khusus untuk mengirim data transaksi kepada bank penerbit kartu dengan tujuan meminta persetujuan, jika bank setuju maka bank mentransfer uang ke rekening penjual setelah dipotong komisi yang telah disepakati sebelumnya antara bank dengan pihak penjual. Andai komisinya sebanyak 2% maka bank hanya membayar kepada penjual sebanyak 98 ribu rupiah, kemudian bank menagih kredit kepada pemegang kartu atas pembayaran tagihan barang yang dibelinya sebesar 100 ribu rupiah. Dan harus dibayar oleh nasabah dalam tenggang waktu yang telah disepakati.
c. Jenis-jenis
Kartu kredit dikelompokkan berdasarkan cara pembayaran kredit oleh nasabah menjadi 2 kelompok, yaitu;
1. Kartu kredit syariah
a. Pengertian
Kartu kredit syariah yaitu kartu yang pemegangya harus melunasi kredit sekaligus dan tanpa bunga setelah berlalu waktu yang disepakati, biasanya berkisar antara 30 – 60 hari. Apabila nasabah menggunakannya untuk membayar belanja seharga 1 juta rupiah maka pihak bank menagih harga yang sama setelah berlalu 40 hari.
Contoh kartu jenis ini: kartu kredit American Express dan kartu Visa serta Master card yang diterbitkan oleh bank syariah.
b. Hukum
Kartu ini hukumnya mubah bila terpenuhi 2 syarat, yaitu :
• Tidak dicantumkan dalam akad persyaratan membayar denda keterlambatan pelunasan oleh pemegang kartu kepada bank penerbit, karena persyaratan ini adalah riba.
• Pemegang kartu tidak boleh menggunakannya untuk penarikan uang tunai bila bank penerbit memunggut biaya penarikan berdasarkan rasio dari setiap proses penarikan begitu juga bila bank penerbit menarik potongan biaya melebihi biaya pokok administrasi proses penarikan.
2. Kartu kredit konvensional
a. Pengertian
Kartu kredit konvensinal yaitu kartu kredit dimana angsuran yang harus dibayar nasabah dalam batas waktu angsuran kredit yang beraneka ragam, semakin bertambah jangkanya semakin bertambah nilai kredit yang harus dibayar.
Misalnya:
Seseorang menggunakan kartu kredit untuk membayar tagihan barang seharga 5 juta rupiah. Orang tersebut tidak diharuskan membayar sekaligus tagihan kredit dengan berakhirnya tenggang waktu, akan tetapi diadiberi kelonggaran untuk melunasinya dengan cara angsuran selama 6 bulan, setiap bulannya sebanyak 1 juta rupiah, maka total kreditnya sebesar 6 juta rupiah.
Contoh kartu jenis ini: Visa dan Master Card yang diterbitkan oleh bank konvensional.
b. Hukum
Kartu kredit ini hukumnya haram, karena hutang bertambah dengan bertambahnya waktu pelunasan. Ini adalah riba.
G. Akad Istishna’
a. Definisi istishna
Istishna' (استصناع) menurut bahasa adalah meminta untuk dibuatkan sesuatu.
Menurut istilah istishna’ yakni akad yang mengandung tuntutan atau permintaan agar Shani’ (produsen) membuatkan suatu barang (pesanan) dari mustashni’ (pemesan) dengan ciri-ciri dan harga tertentu. Dalam istishna bahan baku atau pembuatannya dari pihak produsen. Sedangkankonsumen adalah pemesan barang dengan ciri, bentuk, jumlah, jenis dan lain-lain yang sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Dalam hal mewujudkan barang atas pesanankonsumen, produsen memproduknya sesuai dengan kehendak mustashni’.
Ulama Mahdzab Hanafi mengatakan bahwa akad istishna’ merupakan akad jual beli bukan ijarah (upah mengupah atau sewa menyewa). Oleh karena itu menurut mereka obyek akad dan kerja dibebankan kepada shani’ (produsen) dan harga barang bisa dibayar kemudian. Apabiladisyaratkan bagi shani’ hanya bekerja saja dan barang baku dari konsumen, maka akad ini tidak lagidisebut akad istishna’, tetapi berubah menjadi akad ijarah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad istishna’ merupakan jenis khusus dari akad salam. Sehingga syarat-syaratnyapun sama dengan syarat-syarat yang berlaku dalam akad salam. Seluruh harga barang yang dipesan harus disepakati pada waktu akad disepakati dalam tenggang waktu penyerahan barang-barang harus jelas. Dengan demikianakad istishna ‘ bahandan kerja dari produsen, sedangkan konsumen hanya memesan sesuai dengan kehendaknya.
Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian menurut isitilah ini sebagai berikut: istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni akad untuk membeli sesuatu yang akan dibuat oleh produsen, dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.
Ali Fikri memberikan definisi istishna sebagai berikut:
“Istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahannya) dari pihak pembuat (tukang).”
Istishna’ adalah akad yang menyerupai salam, karena bentuknya menjual barang yang belum ada, dan sesuatu yang akan dibuat itu pada waktu akad ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual. Perbedaan dengan salam:
a. Dalam istishna’ harga atau alat pembayaran tidak wajib dibayar di muka
b. Tidak adanya ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan
c. Barang yang dibuat tidak mesti ada dipasar
b. Landasan syariah
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
• Al-Qur’an:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
• As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.
• Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.
• Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”
• Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak diperbolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
c. Rukun
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi:
1. Kedua-belah pihak (produsen dan pemesan)
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi. Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
d. Syarat akad Istishna’
Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’ adalah:
• Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang karena ia merupakan obyek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya. Persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
• Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/ berlaku dalam hubungan antar manusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam kehidupan manusia, seperti barang properti, barang industri, dan lainnya.
• Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahanbarang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad salam, menurut pandangan Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna’. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak berselisih dalil atau hukum syari'at.
e. Akad istishna’ bukan akad yang mengikat
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Setiap pihak memiliki hak pilih untuk melangsungkan, membatalkan, ataun meninggalkan akad tersebut, sebelum pemesan (mustashni’) melihat barang yang dipesan. Jika pembuat (shani’) menjual barang pesanan (mashnu’) sebelumpemesan melihatnya, maka hal ini diperbolehkan. Karena akad ini bersifat tidak mengikat . Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri dari akad istishna’, produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah menganggap akad istishna' sebagai akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengan pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untuk menjual hasil produksinya kepada orang lain. Pendapat Abu Yusuf ini lebih menjamin karena kedua belah pihak telah terikat janji.
Perbedaan jual beli istishna’ dengan akad salam:
Objek transaksi dalam salam berupa tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun kuantitas, sedangkan dalam istishna’ berupa dzat/barang.
Dalam kontrak salam disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan, hal ini tidak berlaku bagi akad jual beli istishna’.
Kontrak salam bersifat mengikat (lazim), masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad sepihak. Sedangkan istishna’ bersifat tidak mengikat, masing-masing pihak yang berakad boleh membatalkannya secara sepihak.
Dalam kontrak salam dipersyaratkan untuk menyerahkan modal/uang saat kontrak dilakukan, sedangkan dalam istishna’ bisa dibayar dimuka, cicilan, atau waktumendatang sesuai dengan kesepakatan.
H. Perantara/ Makelar
a. Pengertian makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa Arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan (orang yang menjual barang atau mencari pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
Makelar juga merupakan pedagang peranara yang berfungsi menjual barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa mengandung risiko. Dengan kata lain, makelar itu adalah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya proses jual beli.
b. Dasar hukum makelar
Makelar dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :
Pertama :
Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad ( janji-janji) kalian “ (Qs. al-Maidah : 1)
Pada ayat diatas, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan akad–akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan perjanjian seorang pedagang dengan calo (makelar).
Kedua :
Boleh menjadi perantara/ makelar
Imam Bukhari berkata, “Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, danHasan menilai tidak ada masalah seseorang menjadi makelar.”
Ibnu Abas berkata, “tidak ada masalah seseorang berkata “Jualkan baju ini! Jika terjual dengan harga lebih, amaka kelebihan tersebut menjadi hakmu.”
Ibnu Sirin berkata, “Jika seseorang berkata, ” jual barang ini dengan harga sekian. Jika terdapat keuntungan lebih, maka keuntungan itu untukmu atau untuk kita berdua,” maka hal tersebut adalah boleh.
Rasulullulah SAW bersabda:
المسلمون عل شروطهم
Transaksi diantara kaum Muslimin adalah sesuaidengan syarat-syarat yeng mereka sepakati.” (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim dari Abu Hurairah) Bukhari menyebutkan hadits diatas sebagai catatan dalam kitabnya.
Hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata :
كُنَّا نُسَمَّى فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - السَّمَاسِرَةَ ، فَمَرَّ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -
فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ ، فَقَالَ : " يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ! إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
“Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah SAW menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.
Ketiga:
Makelar adalah pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat, karena ada sebagian masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan, maka dia memerlukan calo untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat yang lain, ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara menjualnya, maka dia membutuhkan calo untuk memasarkan dan menjualkan barangnya.
Makelar yang dilarang
Adapun calo (makelar) yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut :
1. Jika dia berbuat sewenang-wenang kepada konsumen dengan cara menindas, mengancam, dan mengintimidasi. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian calo tanah yang akan dibebaskan dan tiket bis pada musim lebaran.
2. Berbuat curang dan tidak jujur, umisalnya dengan tidak memberikan informasi yang sesungguhnya baik kepada penjual maupun pembeli yang menggunakan jasanya.
3. Calo yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari harga aslinya, seperti yang dilakukan oleh calo-calo tikket kereta api pada musim liburan dan lebaran.
4. Para pengusaha kota yang mendatangi pedagang dan petani di desa-desa dan membeli barang mereka dengan harga murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka terhadap harga-harga di kota, dan kadang disertai dengan tekanan dan pemberian informasi yang menyesatkan.
Cara Menentukan Upah Calo
Para ulama membolehkan seorang calo untuk mengambil upah dari pedagang atau pembeli atau dari keduanya. Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa upah calo diambil dari pedagang, dan ini berdasarkan kebiasaan di pasar pada waktu itu. Berkata Imam Nawawi: “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya.”
Apakah Upah makelar boleh dalam bentuk prosentasi
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berdasarkan perbedaan mereka dalam memandang status upah calo ini apakah termasuk dalam akad Ju’alah (semacam sayembara berhadiah), atau akad ijarah (sewa-menyewa) dalam hal ini menyewa tenaga calo, atau akad wakalah (perwakilan)?
Pendapat Pertama : Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,- dan tidak boleh dalam bentuk prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.
Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah harus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ حَتَّى يُبَيَّنَ لَهُ أَجْرُهُ
“Bahwasanya Rasulullah SAW melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)
Pendapat Kedua : Madzhab Hanabilah membolehkan seseorang memberikan upah kepada calo dalam bentuk prosentase. Berkata al-Bahuti di dalam Kasyaf al-Qina’ (11/ 382) :
“Kalau seseorang memberikan hamba sahayanya atau kendaraannya kepada orang yang bisa mempekerjakannya dengan imbalan upah dari sebagian hasilnya, maka dibolehkan. Begitu juga dibolehkan jika dia memberikan baju kepada yang bisa menjahitnya, atau kain kepada yang bisa menenunnya dengan imbalan upah dari sebagian keuntungannya.”
Mereka berdalil dengan hadist Amru bin ‘Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
"Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan berkata Tirmidzi : Hadist ini hasan shohih)
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas : “Tidak mengapa seseorang berkata kepada temannya,: “Jual-lah baju ini, bila kamu bisa menjual dengan harga lebih dari sekian dan sekian, maka itu untukmu"
Begitu juga dikuatkan dengan perkataan Ibnu Sirrin : “Bila seseorang berkata kepada temannya : "Jual-lah barang ini dengan harga sekian, jika ada keuntungan, maka itu untukmu atau untuk kita berdua, maka hal itu dibolehkan.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Kata alba’i dalam arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata alba’i berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan jalan suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Kredit merupakan pembiayaan yang biasa dilakukan oleh bank konvensional, diberikan kepada perorangan, perseroan dan instansi pemerintah. Kredit bisa dalam bentuk jangka pendek; 1 tahun atau kurang, dalam bentuk jangka menengah; satu sampai 5 tahun, atau jangka panjang; di atas 5 tahun.
Makelar merupakan pedagang peranara yang berfungsi menjual barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa mengandung risiko. Dengan kata lain, makelar itu adalah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya proses jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. Yazid. 2009. Fiqh Muammalah. Yogyakarta: lugang printika
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunah. Jakarta: Al-i’thisom
Wardi Muslich, H. Ahmad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: AMZAH
Dzuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sjahedeini, Sutan Remy. 2014. Perbankan Syari’ah. Jakarta: KENCANA
Rahman Ghazali, Abdul. dkk, 2010. Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenada Media Group
Dib Al-Bugha, Musthafa. 2012. Fiqh Manhaji Jilid 2, Yogyakarta: Darul Uswah
Hasan. M. Ali, 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Rajawali Pers
Wahbah Zuhaili. 2010. Fiqh ImamSyafi’i 2. Jakarta : Almahira
http://skripsitesis4u.blogspot.co.id/2013/01/makalah-hukum-makelar-dan-kompensasinya.html
diambil pada Jumat, 1 April pkl. 17.15 WIB
https://amrikhan.wordpress.com/2012/10/29/makelar-dan-akad-bagi-hasil/
diambil pada Jumat , 1 April 2016 pkl. 17.20 WIB
http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/413/hukum-calo-dalam-islam/
diambil pada Jumat , 1 April 2016 pkl. 17.28 WIB
https://rumaysho.com/1671-hukum-komisi-bagi-broker-makelar.html
diambil pada Jumat , 1 April 2016 pkl. 17.34 WIB